Asal Usul Suku Lamaholot

Asal Usul Suku Lamaholot

 Asal Usul Suku Lamaholot

Sumber Gambar: Instagram/omah_kuningg


Sejarah Suku Lamaholot

Suku Lamaholot adalah salah satu suku bangsa asli yang mendiami wilayah Flores Timur. Provinsi Nusa Tenggara Timur. Mereka mendiami sebagian besar wilayah yang meliputi Pulau Flores bagian timur, Pulau Adonara, Pulau Solor, dan Pulau Lomblen. Kelompok pendatang seperti Bugis, Makassar, Buton dan Tionghoa tinggal di kawasan ini, selain kelompok lain seperti Kedang dan Labala. 

Lokasi dan Lingkungan Alam Suku Lamaholot

Suku Lamaholot menempati dua Kabupaten dan beberapa pulau di gugusan kepulauan Flores, yaitu Kabupaten Flores Timur (Pulau Flores, Pulau Adonara, Pulau Solor),  dan Kabupaten Lembata (Pulau Lembata/Lomblen) dengan luas wilayah secara keseluruhan sekitar 3.079,23 Km2. 

Suku Lamaholot berbatasan dengan Laut Flores di sebelah utara, Kabupaten Sikka di sebelah barat, Laut Sawu di sebelah selatan dan Kabupaten Alor di sebelah timur. Kawasan tersebut merupakan kawasan kepulauan vulkanik yang menghiasi deretan perbukitan dengan sejumlah gunung berapi seperti Gunung Lewotolok. Sebagian besar wilayahnya berupa padang rumput dan sisanya berupa semak belukar dengan dataran pantai sempit dan tepian aliran sungai. 

Beberapa sungai hanya membawa air selama musim hujan. Bunga di daerah ini berkisar dari padang rumput hingga pohon besar di perbukitan, dan di daerah dekat pantai diselingi lontar, kosambi, dan kayu putih. Di hutan ini juga terdapat berbagai jenis hewan dan burung, seperti rusa, babi hutan, monyet, nuri, kakatua, bayi burung dan lain-lain. Hewan peliharaan adalah babi, kambing, ayam, anjing. Hewan peliharaan ini hanya ditujukan untuk penggunaan pribadi, misalnya menurut kesepakatan adat di negara tersebut.

Demografi Suku Lamaholot

Penduduk di wilayah Nusa Tenggara Timur secara umum diyakini memiliki tingkat mobilitas yang rendah. Ini dapat dipengaruhi oleh lokasi pemukiman pegunungan mereka dan keterikatan pada adat istiadat mereka. Namun, beberapa kelompok etnis, termasuk Lamaholot dan Solor, menunjukkan tingkat mobilitas yang lebih tinggi. 

Mereka bukan hanya petani, tetapi juga nelayan, pedagang, dan pelaut. Itu sebabnya mereka keluar dari zona mereka. Ada tradisi lisan asal usul orang Lamaholot yang menyebutkan bahwa mereka berasal dari Keroko Pukeng atau Lepan Batan, sebuah pulau kecil di sebelah utara Pulau Pantar, yang sekarang menjadi bagian dari Kabupaten Alor. Alkisah ada sebuah pulau kecil yang dilanda bencana yang menyebabkan rumah penduduk terendam banjir.Karena itu mereka pindah dan akhirnya sampai di Flores Timur.

Bahasa Suku Lamaholot

Masyarakat Lamaholot memiliki bahasa sendiri yaitu bahasa Lamaholot. Bahasa ini, bersama beberapa bahasa lainnya (misalnya bahasa Sikka, bahasa Krowe-Muhang, bahasa Muhang), diperkenalkan ke dalam rumpun bahasa Ambon Timur oleh para ahli. Bahasa yang digunakan adalah Lamaholot Barat. 

Lamaholot Tengah dan Lamaholot Timur. Bahasa Lamaholot Barat yang memiliki jumlah penutur terbanyak terdiri dari beberapa dialek yaitu Pukaunu, Lewotobi, Lewolaga, Bama, Lewolwma, Waibulan, Baipito, Tanjung, Buton, Horowura, Waiwadan, Watan, Kiwang Ona, Dulhi, Wua Kerong , Belang, Lamalera, Mulan, Lamahora, Merdeka, Ile Ape, Ritaebang dan Fatera. 

Bahasa Lamaholot tengah meliputi dialek Mingar, Lewo Penutu, Lewotala, Lewokukun, Imaldo, Lewuka, Kalikara, dan Painara. Bahasa Lamaholot Timur yang memiliki sedikitnya penutur terdiri dari dialek Lewoeleng dan Lamatuka.

Pola Pemukiman Lamaholot

Ada yang tinggal di pedalaman, ada yang membangun rumah di perbukitan, ada yang di dataran lembah, dan ada yang di pesisir membangun rumah di sepanjang pantai. Dulu, mereka memilih pemukiman kebanyakan di perbukitan yang sulit diakses. Beberapa desa mereka masih menunjukkan jejak-jejak tradisi, meski unsur-unsur pengaruh luar baru muncul di sana-sini. 

Suku Lamaholot mendiami kawasan pemukiman berupa desa atau dusun yang disebut Lowo Land. Pola pemukiman mereka terdiri dari kelompok padat berbentuk persegi panjang, membentang dari utara ke selatan, menghadap ke empat mata angin.Mereka menamai desa utara, desa timur, dan seterusnya selatan dan barat. 

Desa kuno biasanya dikelilingi pagar batu untuk melindungi mereka dari serangan musuh atau gangguan hewan. Sekarang batasnya tidak jelas karena area yang digambar batasnya terlalu besar untuk menyertakan bidang atau bidang lama. 

Rumah adat Lamaholot sebagian besar menghadap ke laut atau pegunungan. Rumah itu biasanya berupa panggung.Badan rumah dibagi depan dan belakang sebagai serambi, kanan dan kiri sebagai tempat tidur dan tempat upacara. Bagian tengah menjadi dapu, dan bagian atas, loteng, berfungsi sebagai tempat penyimpanan kenangan. 

Bahan bangunan rumah adalah kayu, nipah dan bambu, atapnya dari rumput, ijuk dan lantainya dari papan atau bambu. Setiap rumah memiliki tiang utama yang disakralkan sebagai tempat bersemayamnya arwah para leluhur. 

Di belakang kampung ada rumah adat bernama Korke. Pada bangunan adat ini terdapat tiang keramat yang disebut Ria Lima Lanang sebagai lambang Ketuhanan (Rera Wulan Tana Ekan). Di pelataran Korki terdapat pagar batu yang diatapi menhir, sedangkan di tempat lain berdiri bangunan megalitik sebagai tempat persembahan kepada Yang Maha Kuasa dan para leluhur. Bangunan ini disebut Naba Nara. Kompleks bangunan megalitik ini memiliki halaman luas tempat berlangsungnya tarian sakral.

Mata Pencaharian Suku Lamaholot

Mata pencaharian utama suku Lamaholot adalah mengolah sawah dengan areal budidaya utama padi. Pertanian ini dilakukan dengan sistem pertanian tebas bakar. Tanah yang digarap orang merupakan milik provinsi yang disebut tanah wungu, dan dahulu pekerjaan itu diperintah oleh seorang patron provinsi. Setiap tahapan pekerjaan harus didahului dengan upacara. 

Mereka juga melihat kesenjangan gender dalam pekerjaan ini. Pekerjaan berat seperti menebang hutan dilakukan oleh laki-laki, dan pekerjaan menabur dan memanen dilakukan oleh laki-laki dan perempuan.Anda juga tahu sistem Gotong-Royong. Tanaman lain yang ditanam adalah ubi kayu, jagung, kacang-kacangan, pisang, nangka, kopi, kemiri, kelapa dan lain-lain. 

Perkebunan kopi di Kecamatan Wulan Gitang cukup luas. Perkebunan kelapa tersebar merata di berbagai wilayah kabupaten ini. Alat-alat pertanian masih sederhana seperti parang, kapak, tofa untuk membersihkan rumput, beliung, pisau untuk memanen padi.


Organisasi sosial suku Lamaholot

Unit sosial terkecil adalah keluarga inti yang disebut Langeuma. Beberapa Langeuma bergabung bersama untuk membentuk unit keluarga yang lebih besar yang disebut Manuk atau Amang. Penggabungan Manuk Satu menciptakan marga yang disebut Nua Newa atau Wungu. Prinsip pewarisan bersifat patrilineal, khususnya dalam penghormatan dan penerimaan warisan. Putranya milik klan ayahnya. 

Dalam keluarga inti, ayah lebih cenderung menjadi pengambil keputusan. Anak laki-laki terbiasa menonton upacara adat. Anak laki-laki bertanggung jawab atas saudara perempuan mereka dan anak laki-laki memiliki hubungan dekat dengan ibu mereka. Hubungan antagonis antara anak perempuan dan ayah ditandai dengan hubungan penghinaan. Dalam perkawinan, mereka mengikuti aturan eksogami klan, yang berarti bahwa pencarian pasangan harus dilakukan di luar klan itu sendiri.

Marga yang memberikan anak perempuan disebut Bela Ke dan marga yang mengambil anak perempuan disebut Opu. Kebiasaan menginap setelah menikah bersifat virilokal, dengan calon pengantin tinggal berdekatan dengan tempat tinggal keluarga pihak laki-laki. Salah satu syarat perkawinan adalah mahar berupa gading (bala) dengan berbagai ukuran. Tentu saja, semakin besar gadingnya, semakin baik.

Agama dan Kepercayaan Suku Lamaholot

Agama mereka adalah Katolik, Kristen, Protestan dan Islam. Diyakini bahwa Islam adalah yang pertama masuk ke NTT. Perkembangan agama Islam dimulai di kawasan pesisir Solor, Alor. Wilayah Solor dan sekitarnya merupakan pelabuhan penting ketika Portugis datang dan dikuasai oleh pemeluk Islam. Perkembangan Katolik terkait erat dengan datangnya kekuasaan Portugal. 

Meski agama ini sudah ada di wilayah tersebut relatif lama, namun ada kecenderungan sistem kepercayaan leluhur masih tetap bertahan.Mereka percaya pada dewa tertinggi bernama Lera Wulan Tana Ekan sebagai pencipta. Mereka percaya akan roh nenek moyang yang berhubungan langsung dengan keturunannya yang masih hidup. 

Oleh karena itu, mereka memiliki tradisi menamai bayi yang baru lahir dengan nama salah satu leluhur mereka. Mereka berbohong bahwa roh nenek moyang mereka adalah perantara mereka dengan dewa tertinggi. Roh leluhur dapat memberkati atau mengutuk keturunannya yang berbuat baik atau jahat. Suku ini juga percaya akan keberadaan roh penjaga desa, mata air alam dan kekuatan gaib. 

Menurut mereka, kematian adalah akhir dari perjalanan hidup di dunia fana dan awal dari perjalanan panjang ke dunia lain untuk mencapai leluhur yang telah meninggal dan menyiapkan tempat bagi mereka.
LihatTutupKomentar